Oleh: Maya Ummu Azka (aktivis MHTI)
Baru-baru ini di salah satu televisi swasta digelar ajang pemilihan Putri Muslimah Indonesia. Seakan tak mau kalah dengan kontes putri-putrian lainnya, kontestan pun didorong untuk tampil cantik dan good looking.
Kontes ini berawal dari keprihatinan Mark Sungkar dan Ratih Sanggarwati terhadap banyaknya acara pemilihan idola atau kontes putri-putrian yang tidak islami. Kemudian lahirlah gagasan untuk menggelar kontes Pemilihan Putri Muslimah Indonesia (PPMI). Ajang ini bakal dikemas sebagai sebuah kontes untuk memilih sosok wanita Muslim yang merepresentasikan karakter Muslimah sejati. (Republika, 28/04/06). Panitia berharap ajang ini mampu melahirkan ikon Muslimah sejati, yang nantinya bisa menjadi daiyah atau mubalighah untuk memperkenalkan kehidupan Islam bagi generasinya.
Jauh Panggang dari Api
Dalam akun Facebook Putri Muslimah Indonesia, banyak komentar bernada miring terhadap kontes ini. Jika ikon muslimah sejati yang ingin dicapai oleh penyelenggara, apakah ajang tersebut merupakan cara yang tepat? Ataukah ini tak jauh beda dengan yang lainnya, yaitu ajang eksploitasi perempuan berbungkus agama?
Menilik prasyarat peserta kontes, ternyata tetap menitikberatkan pada syarat fisik, yaitu berusia maksimal 25 tahun, memiliki tinggi badan minimal 165 cm, berpenampilan cantik dan menarik. Kemudian ketika tampil di atas pentas, para kontestan berlenggak-lenggok dan tabbaruj (berhias berlebihan). Ditambah lagi ada beberapa juri serta pengisi acara yang jauh dari kesan islami, semakin menunjukkan ketidaksesuaian tujuan dengan fakta di lapangan.
Jika kita berpikir jernih, tak ada relevansi kontes ini dengan ikon muslimah sejati. Karena muslimah sejati tak akan mengumbar kecantikan fisiknya untuk dinikmati khalayak ramai. Sungguh disayangkan, niatan baik para penggagasnya tidak dibarengi dengan pemahaman keislaman yang benar tentang sosok muslimah sejati dalam islam, serta bagaimana penampilan dan busana muslimah. Kontes ini –sebagaimana kontes putri-putrian lainnya- malah akan dimanfaatkan menjadi ajang eksploitasi perempuan sekaligus komersialisasi agama.
Bagaimana tidak, pemenang kontes akan menjadi ikon fashion muslimah, sebagai bintang iklan produk-produk muslimah seperti busana atau kosmetik. Kontes ini juga mengokohkan jargon “menutup aurat tapi tetap modis dan fashionable“. Akhirnya para muslimah menjadi konsumtif, sibuk berburu aksesoris dan busana muslimah keluaran terbaru dengan dalih mensyi’arkan hijab. Siapa yang diuntungkan? tentu saja para pengusaha.
Jahatnya Ekonomi Liberal dan Demokrasi
Demikian jahatnya sistem ekonomi liberal sehingga tuntunan syari’at pun bisa dijadikan ajang meraup keuntungan. Sistem ini menghalalkan segala cara demi uang, termasuk mencari celah bisnis di balik kesadaran berhijab yang mulai tumbuh di kalangan muslimah, ditambah dengan ketidakpahaman akan hijab syar’i.
Kerusakan ini semakin lengkap dengan diterapkannya sistem demokrasi, Kita tentu ingat bagaimana gencarnya penolakan ummat terhadap ajang Miss World –induk dari kontes putri-putrian- tahun lalu. Dan sejarah mencatat, meski banyak penolakan namun pemerintah tetap mengijinkan penyelenggaraannya. Ini membuka borok demokrasi yang mengklaim sebagai cerminan suara rakyat, bahwa sebenarnya demokrasi tak pernah berpihak pada rakyat.
Karena sejatinya demokrasi membuat pemerintah hanya berpihak pada pengusaha, pihak yang paling berkepentingan dengan penyelenggaraan kontes putri-putrian. Masalah pelanggaran syari’at dan eksploitasi perempuan tak dihiraukan.
Kembali Ke Syari’at
Sukakah kita jika tubuh kaum muslimah dieksploitasi? Relakah jika syari’at dikomersialkan? Tentu tidak, keimanan menuntun kita untuk memahami batas-batas dalam bersikap dan bertingkah laku.
Syari’at Islam mewajibkan muslimah berhijab untuk menjaga kemuliannya. Kriteria muslimah sejati pun jelas, berkiprah dalam masyarakat dengan kecerdasan dan amal sholihnya, bukan dengan mengumbar kecantikan fisik. Sebagaimana Ummul mukminin Khadijah dan Aisyah yang telah membantu dakwah Rasulullah dengan segenap kemampuannya. Serta para shahabiyyah yang telah berkontribusi nyata membangun peradaban mulia, bahkan hingga berkorban nyawa di medan jihad.
Syari’at juga mengatur sistem ekonomi yang menjadikan ridho Allah sebagai standarnya, bukan berorientasi pada keuntungan materi semata. Serta mewajibkan pemerintah menjadi pengayom rakyatnya.
Maka sebagai manusia, kita butuh diatur oleh syari’at. Dan itu hanya ada dalam naungan Khilafah, sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sistem yang telah berdiri selama 13 abad, terbukti mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Sekaranglah saatnya perempuan Indonesia kembali kepada Khilafah Islamiyah dan meninggalkan Demokrasi dan Ekonomi Liberal, karena Indonesia milik Allah. wallahu a’lam. []
Maka sebagai manusia, kita butuh diatur oleh syari’at. Dan itu hanya ada dalam naungan Khilafah, sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sistem yang telah berdiri selama 13 abad, terbukti mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Sekaranglah saatnya perempuan Indonesia kembali kepada Khilafah Islamiyah dan meninggalkan Demokrasi dan Ekonomi Liberal, karena Indonesia milik Allah. wallahu a’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar