Senin, 26 Mei 2014

Al-Islam : Indonesia Milik Allah Terapkan Aturan Allah


Hanya ada dua pasangan capres-cawapres yang maju dengan poros koalisinya. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla diusung oleh koalisi PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa diusung koalisi partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar dan PBB. Kedua pasang capres-cawapres pun sudah mendaftarkan ke KPU untuk mengikuti Pemilu Presiden.



Kemasan Memikat, Janji Muluk

Kedua pasangan sama-sama memilih warna putih sebagai identitasnya. Mungkin itu untuk memberi pesan bahwa mereka bersih. Citra ini tentu penting saat wajah Indonesia belepotan oleh korupsi. Putih juga tentu untuk mengesankan bahwa mereka tulus mengabdi untuk kepentingan rakyat, independen serta bukan penguasa boneka yang disetir dan dikendalikan oleh pihak dalam atau luar negeri.

Pasangan Jokowi-JK mengusung visi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengusung, “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”. Kedua pasangan sama-sama mengklaim mengusung ekonomi kerakyatan.
Berbagai janji muluk disampaikan. Mereka berjanji membuka jutaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan perkapita, membuka jutaan hektar lahan baru, membangun infrastruktur, menata sektor pertambangan, menata sektor energi, mengembangkan energi terbarukan, membangun kilang, memperbaiki dan membangun irigasi untuk jutaan hektar lahan, meningkatkan hasil perikanan dan kesejahteraan nelayan, menata sektor keuangan dan sejumlah janji-janji muluk lainnya.

Meski kedua pasangan sama-sama mengusung ekonomi kerakyatan, bentuk dan gambarannya belum jelas. Yang mereka usung tetap sistem ekonomi kapitalisme, dengan sedikit polesan berupa program yang “menyasar rakyat kecil, petani dan nelayan”. Pilar-pilar sistem ekonomi kapitalisme-liberal masih tetap dipertahankan. Sistem moneternya masih tetap mata uang fiat money dan berbasis riba. Sumber terbesar pendapatan negara tetap bertumpu pada pajak. Bahkan kedua pasangan bertekad untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan cukai. Sistem anggaran juga tetap menggunakan utang meski katanya akan dikurangi. Jika utang LN dikurangi, tumpuannya akan beralih pada utang dalam negeri dalam bentuk surat utang negara, meniru negara-negara kapitalis seperti AS dan Jepang. Dijanjikan pula, utang akan lebih digunakan untuk infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.

Pengelolaan tambang dan SDA tetap dengan konsep kapitalisme. Pengelolaannya diserahkan kepada swasta, termasuk swasta asing, melalui kontrak bagi hasil, konsesi atau kontrak karya. Yang dijanjikan akan dilakukan sekadar renegosiasi (kesepakatan ulang) kontrak pertambangan agar porsi bagian negara meningkat. Namun, pelaksanaannya masih bisa diragukan. Pasalnya, selama ini, terutama saat berhadapan dengan perusahaan asing yang didukung oleh negaranya, para penguasa negeri ini tampak tak berdaya.

Kebijakan sektor energi tetap berorientasi mengurangi (menghapus) subsidi BBM. Besar kemungkinan, harga BBM akan dinaikkan, siapapun yang menjadi presiden dan wapresnya. Dalam hal pembangunan infrastruktur dan sarana pelayanan publik tetap akan dilanjutkan skema Public-Private Partnership atau Private Finance Initiative. Intinya, swasta tetap dilibatkan dalam hal pembangunan dan pendanaan. Artinya, swasta akan mendapatkan bagian keuntungan dari pengelolaan infrastruktur dan sarana pelayanan publik itu. Ini sebenarnya doktrin dari kapitalisme yang menghendaki agar peran negara dalam menyediakan infrastruktur dan pelayanan publik seminimal mungkin.

Jadi, yang ditawarkan oleh kedua pasangan adalah melanjutkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme disertai sedikit modifikasi. Padahal selama ini sistem ekonomi kapitalisme itulah yang menjadi sebab timpangnya distribusi kekayaan di negeri ini. Sistem ini juga menjadi pintu masuk cengkeraman asing terhadap perekonomian negeri ini. Akibatnya, kekayaan negeri ini lebih banyak untuk kesejahteraan pihak asing, bukan untuk rakyat.

Di sisi lain, sistem politik yang diterapkan tetaplah sistem demokrasi. Selain memakan biaya besar, sistem demokrasi itulah yang menjadi pangkal lahirnya berbagai peraturan dan UU yang merugikan rakyat. Sistem demokrasi juga menjadi pintu masuknya pengaruh asing. Sistem demokrasi yang berbiaya mahal juga mengubah wajah negara menjadi negara korporasi (negara yang dikendalikan oleh para pemilik modal). Hubungan Pemerintah dengan rakyat—yang seharusnya seperti hubungan pelayan dengan yang dilayani—akhirnya berubah menjadi hubungan layaknya penyedia jasa dan produk dengan konsumen. Dengan kata lain, rakyat diposisikan sebagai pembeli yang harus membayar pelayanan yang dijual oleh negara.

Jadi, kalaupun ada perubahan, itu hanya menyangkut sosok orangnya. Sistemnya tetap sama, dengan sedikit modifikasi. Padahal yang dibutuhkan negeri ini bukan hanya sosok yang mampu dan amanah, tetapi juga sistem yang sahih dan baik untuk menggantikan sistem yang rusak sekarang ini.

Pemimpinnya Amanah, Sistemnya Syariah

Sesungguhnya negeri ini dengan segala yang ada di atasnya adalah milik Allah SWT. Semuanya telah Allah SWT titipkan kepada penduduk negeri ini untuk dikelola dengan baik. Karena itu, negeri ini harus dipimpin oleh penguasa yang memiliki kemampuan dan sifat amanah. Dalam Islam, kekuasaan itu sendiri adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Rasul saw. bersabda saat Abu Dzar ra. meminta jabatan:
«وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا»
Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).
Tugas penguasa adalah mengurusi segala kepentingan rakyatnya. Penguasa ibarat penggembala yang bertanggung jawab atas semua gembalaannya. Rasul saw. mengingatkan:

«إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ»
Sungguh seburuk-buruk penggembala adalah al-khuthamah. Karena itu jangan sampai engkau termasuk dari mereka (HR Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Al-Khuthamah adalah penggembala yang keras dan kasar terhadap gembalaannya. Pemimpin rakyat yang buruk juga disebut al-khutham.
Dalam konteks negeri ini yang dipenuhi oleh kolusi, korupsi, manipulasi dan berbagai bentuk kecurangan, kebutuhan akan penguasa yang amanah sangat mendesak. Hanya penguasa amanah saja yang akan bisa menertibkan pejabat dan aparatur negara di bawahnya. Pemimpin amanah jugalah yang akan menyerahkan jabatan hanya kepada orang-orang yang juga amanah, memiliki kemampuan dan bertakwa. Jika jabatan diserahkan kepada orang yang tidak layak maka itu sama artinya menyia-nyiakan amanah kekuasaan sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits Rasul saw. Sayangnya, yang demikian sulit dipenuhi oleh penguasa negeri ini nanti. Pasalnya, pastilah jabatan dibagi-bagikan kepada para politisi atau orang-orang yang disodorkan oleh parpol peserta koalisi.

#IndonesiaMilikAllah – Terapkanlah Syariah Allah

Selain penguasa amanah, negeri ini juga sangat membutuhkan sistem yang sahih dan baik untuk menggantikan sistem kapitalisme-sekular yang terbukti buruk dan bobrok. Gonta-ganti penguasa saja tanpa disertai perubahan sistem terbukti tidak menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Yang ada, hasilnya malah jauh lebih buruk. Fakta ini menegaskan bahwa negeri ini memerlukan perubahan sistem. Intinya, ganti sistem kapitalisme-sekular yang diterapkan selama puluhan tahun di negeri ini dengan sistem (syariah) Islam.
Indonesia—sebagaimana dunia ini—adalah milik Allah SWT. Karena itu, dunia ini, termasuk negeri ini, hanya layak dikelola dan diatur dengan menggunakan aturan Allah SWT. Itulah syariah Islam.
Hanya dengan syariah Allah SWT sajalah perubahan dan penyelamatan negeri ini bisa diwujudkan secara hakiki. Allah SWT sudah mengingatkan kita tentang akibat dari penerapan sistem yang bukan berasal dari wahyu-Nya:

﴿فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا﴾
Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka siapa saja yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yuang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).

Imam Ibn Katsir menjelaskan, “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku” maknanya: “Siapa saja yang menyalahi perintah (ketentuan)-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, berpaling dan berpura-pura melupakannya serta mengambil yang lain sebagai petunjuknya, maka bagi dia kehidupan yang sempit, yakni di dunia.”
Sebaliknya Allah SWT berjanji akan melimpahkan berkah-Nya atas negeri ini ketika syariah-Nya diterapkan sebagai perwujudan keimanan dan ketakwaan penduduk negeri. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf [7]: 96).

Selain itu, Allah SWT memperingatkan, siapa saja yang mengambil selain Islam sebagai agama dan sistem hidupnya, tidak akan diterima (QS Ali Imran [3]: 85). Yang harus dilakukan adalah hanya mengambil dan menerapkan Islam saja, yakni hanya akidah dan syariahnya. Islam harus diterapkan sebagai agama dan sistem hidup di bawah naungan Khilafah. Syariah dan Khilafah itulah yang merupakan jalan perubahan dan penyelamatan negeri ini secara hakiki.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam:
Anggaran riset di Indonesia stagnan selama 10 tahun terakhir. Rasio antara anggaran riset dan produk domestik bruto tak banyak berubah. Rasio anggaran riset hanya 0,08 persen dari PDB. Rasio ini kecil dibandingkan dengan negara lain, bahkan di Asia. Padahal agar terjadi lompatan pembangunan dibutuhkan riset. (Kompas, 20/5).

Itu bukti kecilnya semangat kemandirian dan kemajuan yang diusung oleh Pemerintah selama ini. Itu juga wujud masih kentalnya sikap membebek dan bergantung kepada Barat.
Kemajuan yang berbasis pada riset yang kuat akan bisa diujudkan dengan penerapan syariah dalam naungan Khilafah yang mengusung jihad. Sebab, jihad mengharuskan negara membangun keunggulan teknologi.
[www.globalmuslim.web.id]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar